Mengejar Muwashofat
Posted by pks ngawen in Tarbiyah
Istilah muwashofat atau sifat-sifat sejati seorang aktivis, sudah tidak asing lagi di kalangan tarbiyah. Muwashofat tarbawiyah atau sifat-sifat sejati seorang aktivis yang ditarbiyah adalah suatu keharusan untuk meningkatkan mutu kader. Walaupun sosialisasi muwashofat untuk tiap level telah diberikan berikut motivasi untuk mencapainya dan dilengkapi pula rekomendasi media, lembaga, sarana yang menunjang, tetapi muwashofat hanya tinggal muwashofat, yang cukup diketahui dan sulit (baca: tidak mungkin) dicapai.
Berikut ini beberapa kenyataan di sekeliling penulis berkaitan dengan pencapaian muwashofat. Pertama, sejumlah kader muda, belum berkeluarga dan enerjik, yang semestinya mampu dan berkesempatan memenuhi muwashofat dengan baik ternyata dengan berbagai argumen kesibukan aktivitas mereka, banyak yang tidak tercapai. Kedua, sejumlah ummahat dengan segala dinamika (kesibukan) keluarganya, juga menemui kesulitan mencapai muwashofat. Ketiga, ada lagi sejumlah ikhwan, yang konon sibuk dengan kerja/keluarga dan dakwah dengan jam terbangnya yang tinggi, juga tidak berbeda: sulit mencapai muwashofat.
Jika demikian adanya, sebenarnya siapa atau apa yang salah? Apakah muwashofat baik primer maupun sekunder yang ada demikian berat dan sulit sekali dicapai? Ataukah kita sebagai kader kurang (tidak) sungguh-sungguh untuk mencapainya?
Baru-baru ini, Departemen Kaderisasi Pusat telah merumuskan 7 karakter khusus yang mestinya dimiliki kader. Tujuh karakter itu biasa disebut “Profil Kader PKS”. Yakni, kokoh dan mandiri, dinamis dan kreatif, spesialis dan berwawasan global, murobbi produktif, beramal jamai, pelopor perubahan serta ketokohan sosial. Masing-masing karakter tersebut telah dilengkapi dengan indikator, kuisioner dan tips praktis mencapainya. Akankah profil kader ini mampu diwujudkan kader ataukah akan bernasib sama dengan muwashofat tarbiyah, sebatas wacana dan impian saja?
Dalam buku Profil Kader PKS disebutkan latar belakang rumusan profil kader tersebut. Lima tahun ke depan, dakwah akan berhadapan dengan peluang sekaligus tantangan yang besar. Peluang itu berupa terbukanya lahan-lahan dakwah di berbagai bidang yang membutuhkan ketersediaan kader dakwah dalam jumlah banyak, yang memiliki keunggulan-keunggulan. Tetapi di saat yang sama, ada tantangan besar. Yakni, dinamika dunia yang tidak bersahabat dengan dakwah, ketidakpastian kondisi dalam negeri serta penyakit sosial yang semakin parah.
Menghadapi semua itu, selain muwashofat tarbawiyah diperlukan lagi karakter khusus yang tertuang dalam Profil Kader PKS. Bila demikian adanya, mampukah kader mewujudkan semuanya (muwashofat dan profil kader)? Padahal untuk muwashofat tarbawiyah saja banyak yang tidak tercapai. Apakah tidak seperti pungguk merindukan bulan? Atau mungkin semua kenyataan yang dikemukakan penulis hanya menimpa sejumlah oknum saja?
Bila kita tengok pemilu 2004, dengan dalih butuh jumlah kader yang banyak, maka terjadilah akselerasi kader ke jenjang berikutnya. Saat itu kita mengenal istilah “hutang muwashofat” (muwashofat yang seharusnya ada tapi belum terpenuhi). Namun pemilu 2004 telah berlalu, dan hutang muwashofat tetap saja hutang, banyak yang belum terbayar.
Mari kita buka dan lihat kembali dengan seksama, muwashofat pada masing-masing level. Di situ ada pentahapan dinamis. Bila tiap kader konsisten mencapai muwashofat dan senantiasa ada kontrol serta motivasi yang efektif dari lingkungannya, insya Allah kita akan melihat pribadi kader dengan kualitas prima.
Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pencapaian muwashofat. Pertama, menumbuhkan motivasi kesadaran diri bahwa usaha pencapaian miwashofat adalah bagian dari usaha kita untuk semakin berprestasi di hadapan Allah. Motivasi ini tidak cukup sekali atau sesekali. Tapi, perlu sering diingatkan agar benar-benar sampai ada tarbiyah dzatiyah atau tarbiyah secara mandiri. Hal ini khususnya berkaitan dengan aktivitas harian atau muwashofat primer lainnya.
Kedua, melakukan langkah-langkah kongkrit untuk mencapai muwashofat baik secara individu maupun bersama. Ada muwashofat yang bisa terpenuhi dengan penugasan yang dievaluasi, atau ada pula muwashofat yang akan lebih ringan dan nyaman bila dilakukan bersama. Untuk itu, perlu inisiatif dan kreativitas mencapai muwashofat. Jadi, tidak cukup hanya jalan di tempat atau pasrah dengan segala keterbatasan yang ada.
Ketiga, evaluasi secara kontinyu. Umumnya manusia (termasuk kader) ingin yang serba enak dan tidak suka ada ujian, tugas atau beban. Padahal, dari ujian, tugas dan beban itulah akan ada pembelajaran dan peningkatan. Kontrol yang ada tentu harus bijaksana dan fleksibel, sehingga kader pun akan nyaman. Tidak seperti robot yang hanya bisa nurut tanpa variasi.
Keempat, adanya solusi dan saran. Bisa jadi, ketidaktercapaian selama ini banyak kendala yang dihadapi, sehingga perlu kearifan untuk mengetahui pokok permasalahannya yang ditindaklanjuti dengan solusi dan saran.
Ada kasus, kader merasa telah menceritakan kesulitannya di pertemuan pekanan, tapi tidak ada solusi tepat yang ia dapatkan. Semua kesulitan itu akhirnya dipendam sendiri. Karena itu, butuh keterbukaan mengemukakan kesulitan-kesulitan yang ada, untuk kemudian bisa memberikan solusi dan saran yang tepat. Allahu a’lam.
Ensi Rahmayani, SE.
Ketua Kewanitaan DPC PKS Candisari Semarang Sumber: Majalah Saksi