Memerangi Kemungkaran  

Posted by pks ngawen in

Fiqh Da'wah, Syarah Hadits
27/4/2007 | 10 Rabiul Akhir 1428 H | Hits: 2.206

Memerangi Kemungkaran

Oleh: Tim dakwatuna.com



Dari Abi Sa'id Al-Khudri –semoga Allah meridainya– ia mengatakan, aku
mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Siapa di antara kalian yang
melihat kemungkaran maka ia harus mengubah dengan tangannya. Jika ia
tidak bisa maka ia harus mengubah dengan lidahnya. Jika ia tidak bisa
maka ia harus mengubah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah
iman." (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya.)

Di antara kewajiban seorang mukmin adalah melakukan amrun bil-ma'ruf
wa nahyun 'anil-munkar (memerintahkan untuk melakukan kebajikan dan
melarang melakukan kemungkaran). Rasulullah saw. menggambarkan
pentingnya pekerjaan ini dalam hadits berikut ini.

"Perumpaan orang-orang yang melaksanakan hukum-hukum Allah dengan
orang-orang yang melanggarnya bagaikan sekelompok orang yang naik
kapal. Lalu mereka melakukan undian untuk menentukan siapa yang duduk
di bagian atas dan siapa yang duduk di bagian bawah (dek). Orang-orang
yang duduk di bagian bawah itu harus naik ke atas jika mereka
membutuhkan air. Lalu salah seorang dari mereka mengatakan, "Sebaiknya
kita membolongi tempat kita ini sehingga kita tidak mengganggu orang
lain." Jika orang-orang yang ada di atas membiarkan mereka
melaksanakan apa yang mereka inginkan, maka niscaya akan binasalah
semuanya. Namun, jika mereka membimbingnya, maka mereka yang ada di
atas akan selamat dan selamat pula mereka yang ada di bawah."
(Bukhari)

Dengan sangat jelas, Allah swt. menyebut pekerjaan tersebut sebagai
salah satu sifat yang harus melekat pada orang-orang beriman. Hal itu
dijelaskan dalam ayat ini: "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (At-Taubah: 71)

Untuk tercapainya tujuan-tujuan nahyi munkar itu, Islam mengiringi
perintah tersebut dengan beberapa aturan. Karena, mencegah kemungkaran
ditujukan untuk menyelamatkan dan mewujudkan yang maslahat atau yang
lebih maslahat. Bukan sebaliknya.

Syarat pelaku amar makruf nahyi munkar

Syaikh Abdul Qadir Audah –rahimahullah– menyebutkan tiga syarat yang
disepakati oleh para ulama yang harus ada pada setiap pelaku amar
makruf dan nahyi munkar. Ketiga syarat itu adalah: mukallaf, memahami,
dan bebas dari tekanan; mengimani agama Islam; dan memiliki kemampuan
untuk melakukan amar makruf dan nahyi munkar itu. Jika tidak, maka
kewajibannya adalah menolak dengan hati.

Ada pun syarat yang tidak semua ulama menyepakatinya adalah: pertama,
sifat 'adalah, yakni sifat shalih, takwa, dan terpercaya. Tentang ini,
Sa'id bin Jubair mengatakan, "Jika amar ma'ruf dan nahyi munkar hanya
dilakukan oleh orang yang sempurna segala sesuatunya, maka niscaya
tidak akan ada seorang pun yang melakukannya." Kedua, izin imam
(pemimpin). Ini juga termasuk yang diperselisihkan. Jumhur ulama tidak
mensyaratkan hal ini.

Syarat pelaksanaan nahyi munkar

Ada dua syarat pelaksanaan nahyi munkar. Pertama, ada atau terjadinya
kemungkaran. Kemungkaran adalah segala kemaksiatan yang diharamkan
atau dilarang oleh Islam. Kedua, kemungkaran yang dimaksud hadits di
atas dan wajib diperangi adalah perbuatan yang secara qath'i (tegas,
eksplisit) dinyatakan sebagai kemungkaran dalam Al-Qur'an atau Sunnah,
atau berdasarkan ijma' dan bukan yang diperselisihkan.
Kemungkaran-kemungkaran yang qath'i itu adalah yang disebutkan dalam
Al-Qur'an sebagai fahsya atau munkar, seperti zina, mencuri, riba, dan
melakukan kezhaliman.

Juga termasuk kemungkaran qath'i yang disebutkan oleh Rasulullah saw.
sebagai al-mubiqat (hal-hal yang membinasakan), seperti yang
diuraikannya dalam hadits berikut. "Jauhilah tujuh hal yang
membinasakan." Para sahabat bertanya, "Apa itu?" Rasulullah saw.
menjelaskan, "Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah
haramkan kecuali dengan cara haq, makan riba, makan harta yatim, lari
dari gelanggang saat jihad, dan menuduh zina kepada wanita suci."
(Muslim, Abu Dawud, dan Baihaqi)

Kemungkaran itu tampak karena dilakukan secara terbuka dan bukan hasil
dari tajassus (mencari-cari kesalahan). Sebab Rasulullah saw.
bersabda, "Sesungguhnya kamu jika mencari-cari aurat
(kesalahan-kesalahan) manusia, maka kamu menghancurkan atau nyaris
menghancurkan mereka." (Shahih Ibnu Hibban)

Tahapan-tahapan pelaksanaannya

Para ulama memberikan arahan agar dalam pelaksanaan menghilangkan
kemungkaran diambil langkah-langkah seperti berikut:

** Pertama, melakukan penyadaran dan pemahaman.

Allah swt. Berfirman, "Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan
suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga
dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (At-Taubah: 115)

** Kedua, menyampaikan nasihat dan pengarahan.

Jika penjelasan dan informasi tentang ketentuan-ketentuan Allah yang
harus ditaati sudah disampaikan, maka langkah berikutnya adalah
menasihati dan memberikan bimbingan. Cara ini dilakukan Rasulullah
terhadap seorang pemuda yang ingin melakukan zina dan terhadap orang
Arab yang kencing di Masjid.

** Ketiga, peringatan keras atau kecaman.

Hal ini dilakukan jika ia tidak menghentikan perbuatannya dengan
sekadar kata-kata lembut dan nasihat halus. Dan ini boleh dilakukan
dengan dua syarat: memberikan kecaman hanya manakala benar-benar
dibutuhkan dan jika cara-cara halus tidak ada pengaruhnya. Dan, tidak
mengeluarkan kata-kata selain yang yang benar dan ditakar dengan
kebutuhan.

** Keempat, dengan tangan atau kekuatan.

Ini bagi orang yang memiliki walayah (kekuasaan, kekuatan). Dan untuk
melakukan hal ini ada dua catatan, yakni: catatan pertama, tidak
secara langsung melakukan tindakan dengan tangan (kekuasaan) selama ia
dapat menugaskan si pelaku kemungkaran untuk melakukannya. Jadi,
janganlah si pencegah kemungkaran itu menumpahkan sendiri khamer,
misalnya, selama ia bisa memerintahkan peminumnya untuk melakukannya.
Catatan kedua, melakukan tindakan hanya sebatas kebutuhan dan tidak
boleh berlebihan. Jadi, kalau bisa dengan menarik tangannya, tidak
perlu dengan menarik jenggotnya.

** Kelima, menggunakan ancaman pemukulan.

Ancaman diberikan sebelum terjadi tindakannya itu sendiri, selama itu
mungkin. Dan ancaman tentu saja tidak boleh dengan sesuatu yang tidak
dibenarkan untuk dilakukan. Misalnya, "Kami akan telanjangi kamu di
jalan," atau "Kami akan menawan isterimu," atau "Kami akan penjarakan
orangtua kamu." (Lebih jauh lihat Fahmul-Islam Fi
Zhilalil-Ushulil-'Isyrin, Jum'ah Amin 'Abdul-'Aziz, Darud-Da'wah,
Mesir).

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah –semoga Allah merahmatinya– menjelaskan
akhlak amar ma'ruf dan nahyi munkar sebagai berikut:
Amal seseorang tidak dapat dikatakan shalih jika dilakukan tanpa ilmu
dan pemahaman. Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan, "Siapa yang
beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka kerusakannya akan lebih besar
dari pada kebaikannya."

Yang termasuk perbuatan baik adalah melakukan amar dan nahyi
berdasarkan jalan lurus, yakni keridhaan Allah swt.

Amar dan nahyi harus dilakukan secara lemah lembut. Rasulullah saw.
bersabda, "Tidaklah sikap lemah lembut dalam sesuatu melainkan
membuatnya indah. Dan tiadalah sikap kasar dalam sesuatu melainkan
membuatnya buruk." (Muslim dan Ibnu Majah)

Seorang mukmin haruslah bersifat penyantun dan penyabar dalam menerima
cobaan. (lihat Etika Beramar Ma'ruf Nahi Mungkar, Ibnu Taimiyyah)

Sedangkan Imam Ibnul Qayyim menegaskan, "Bila yang akan terjadi
–dengan nahyi munkar itu- semakin kuat dan semakin hebatnya
kemungkaran, maka melakukannya dilarang dan jika engkau melakukannya
maka engkau berdosa." Ini menegaskan bahwa untuk melaksanakan perintah
Allah, khususnya amar ma'ruf dan nahyi munkar, harus memakai akhlak
yang diajarkan-Nya dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Allahu a'lam.

http://www.dakwatuna.com/2007/memerangi-kemungkaran/

0 Komentar


Archives