Membangun Masa Depan Tanpa Korupsi  

Posted by pks ngawen in

Hilangnya ketegasan, hukum yang pilih kasih, adalah pangkal bencana. Dalam khasanah hukum Islam, ada keteladanan yang layak dicontoh. Di zaman Nabi, ada wanita ningrat dari bani Makhzum mencuri sehingga orang Quraisy enggan menetapkan hukuman. Nabi mengecam keras. "Orang-orang sebelummu binasa adalah karena jika ada seseorang yang terpandang di antara mereka mencuri, mereka membebaskannya, dan jika ada orang lemah di antara mereka mencuri, mereka menegakkan hukum padanya. Demi Allah, sekiranya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya."

Secara berturut-turut, berita utama (headline) beberapa media cetak Nasional dua bulan terakhir, mengetengahkan banyaknya potensi penyelewengan pada proyek yang bersumber dari anggaran negara baik APBN maupun APBD. Pada sektor infrastruktur jalan misalnya, banyak kontraktor yang mengerjakan proyek tidak sesuai bestek. Sampai pada waktu penyerahan, ternyata banyak jalan yang sudah rusak.

Jika dilakukan cross check ke daerah maka pihak Dinas PU menyatakan para kontraktor paling bertanggung jawab terhadap permasalahan tersebut. Tapi, para kontraktor kemudian "bernyanyi." Mereka menyatakan tentang banyaknya "setoran" yang harus mereka serahkan ke oknum Dinas PU. Dana yang terbatas itulah yang membuat proyek berjalan asal-asalan.

Budaya Korupsi?

Penyelewengan proyek pembangunan jalan agaknya telah menjadi tradisi tahunan. Juga seperti pungutan Penerimaan Siswa Baru (PSB), di awal tahun ajaran baru kemarin. Berulangkali dilarang, sekolah (negeri) tetap melakukan pungutan.

Persoalan tren penyelewengan proyek tersebut seolah meneguhkan tesis Myrdal. Sudah lama Gunnar Myrdal (1987) menilai negara kita sebagai "soft state" (negara lunak), yaitu negara yang pemerintahnya tidak memiliki ketegaran moral yang jelas, khususnya moral sosial-politik. Menurut ahli ekonomi Swedia pemenang hadiah Nobel itu, "lunak" berasosiasi pada tidak adanya disiplin sosial di masyarakat.

Kita umumnya mengidap kelembekan (leinency), sikap serba memudahkan (easy going), sehingga tidak memiliki kepekaan cukup terhadap masalah penyelewengan dan kejahatan. Myrdal menyebut gejala ini sebagai "korupsi," yang telah begitu mengakar dalam budaya bangsa kita.

Bencana Sosial

Efek buruk korupsi (dengan berbagai variannya) ialah menyebarnya sikap sinis di kalangan masyarakat luas. Korupsi kemudian banyak mengintroduksi elemen-elemen yang tak rasional. Penyimpangan kebijakan di seluruh tingkatan, keinginan untuk memperoleh hasil dengan jalan pintas, juga kesenjangan sosial di masyarakat. Menurunnya partisipasi politik masyarakat tampak juga dipengaruhi hal ini. Agaknya, elemen irasional inilah yang juga menjadi penjelasan anomali parpol. Di tengah merosotnya kredibilitas/citra parpol, Pemilu 2009 malah diikuti 34 parpol, lebih banyak dari Pemilu 2004.

Triwulan pertama 2008, kita mendapat hadiah memilukan dan memalukan. Indonesia termasuk di dalam indeks 60 negara gagal tahun 2007 (failed state index 2007). Indeks itu dibuat Majalah Foreign Policy, bekerja sama dengan lembaga think-tank Amerika, The Fund for Peace. Banyak ukuran dalam membuat indeks itu. Parameternya antara lain adalah kemiskinan merajalela, ekonomi merosot, pelayanan umum jelek, korupsi dan kriminalitas menyebar, pemerintah pusat sangat lemah dan tak efektif. Negara paling gagal adalah Sudan, Irak, Somalia, dan Zimbabwe. Bayangkan, Indonesia masuk satu jajaran dengan negeri itu, bersama sejumlah negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin, semacam Timor Timur, Myanmar, Kongo, Haiti, Ethiopia, dan Uganda.

Di mata dunia internasional kita punya predikat buruk. Mungkin ada yang menyangsikan penilaian majalah Foreign Policy. Tapi fenomena di lapangan banyak menemukan kesesuaian. Masyarakat semakin berat menanggung beban. Mahalnya harga kebutuhan pokok tak diiringi dengan peningkatan daya beli. Pelayanan umum—sebutlah jalan, sebagai sarana dasar kebutuhan publik—tak beranjak bagus. Rasa aman semakin mahal. Berita di koran tak jeda mengabarkan perampokan yang makin nekat dan kejam.

Ketegasan dan Efek Jera

Tentu, tak selalu kabar buruk yang kita terima. Telah banyak perkara korupsi yang terungkap. Para pejabat yang dulunya nyaris musykil tersangkut dakwaan korupsi, sekarang telah terjerat. Mulai banyak pejabat yang menghuni hotel prodeo. Sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah membuat ciut nyali para pelaku korupsi.

Pertanyaannya, apakah pengusutan perkara korupsi tersebut cukup sebagai kompensasi untuk meraih kepercayaan publik? Semuanya masih memerlukan syarat yang dipenuhi: ketegasan hukum. Saat ini, komitmen penegakan hukum itu masih sering terlihat terlalu birokratis—padahal musuh besar perubahan itu ada pada birokrasi yang bertele-tele dan formalistik. Pemimpin negeri ini masih banyak terjebak mekanisme birokrasi. Banyak perkara yang berlarut-larut dalam pengadilan. Pada gilirannya, pemberantasan korupsi saat ini masih banyak yang berupa dakwaan, belum menghasilkan keputusan yang memuaskan. Bahkan di daerah sering terjadi ironi. Perkara korupsi hanya menjadi polemik di koran—karena wartawan kritis yang mengungkapkan. Setelah itu, hilang tanpa ada tindak lanjut di pengadilan.

Hilangnya ketegasan, hukum yang pilih kasih, adalah pangkal bencana. Dalam khasanah hukum Islam, ada keteladanan yang layak dicontoh. Di zaman Nabi, ada wanita ningrat dari bani Makhzum mencuri sehingga orang Quraisy enggan menetapkan hukuman. Nabi mengecam keras. "Orang-orang sebelummu binasa adalah karena jika ada seseorang yang terpandang di antara mereka mencuri, mereka membebaskannya, dan jika ada orang lemah di antara mereka mencuri, mereka menegakkan hukum padanya. Demi Allah, sekiranya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya."

China bisa juga menjadi contoh lain tentang sukses memberantas korupsi. Zhu, Perdana Menteri Cina itu telah menghukum mati ratusan pelaku korupsi. Hasilnya, ekonomi di China maju sangat pesat.

Pemberantasan korupsi—di pusat dan daerah—tampak menjadi komponen penting dalam pembangunan. Penegakan hukum menjadi bagian penting membangun optimisme kita. Agar selalu ada keberanian kita untuk berharap (audacity of hope). Berharap bahwa pemerintahan mendatang akan lebih baik. Agar predikat negara gagal itu tidak berlanjut menjadi negara hancur (collapsed state).

Oleh: Aboe Bakar Al-Habsyi


Pengirim: Mutia Febrina

0 Komentar


Archives