Renungan seorang Akh....
Posted by pks ngawen in Tarbiyah
"Akh, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam da'wah. Tapi
belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana
melihat ternyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh."Begitu keluh
kesah seorang mad'u kepada seorang murobbinya di suatu malam. Sang
murobbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam
diri mad'unya.
"lalu apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu ? "
sahut sang murobbi setelah sesaat termenung.
" Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa
dengan prilaku beberapa ikhwah yang justru tidak Islami. Juga dengan
organisasi dakwah yang Ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi
anggota-anggotanya. Bila begini terus, Ana mendingan sendiri saja."
Jawab mad'u itu.
Sang murobbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari
roman di wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan
jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal. " Akhi, bila suatu
kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu
ternyata sudah sangat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya
banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa
yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?". Tanya sang
murobbi dengan kiasan bermakna dalam. Sang mad'u terdiam dan
berfikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam
melalui kiasan yang amat tepat. " Apakah antum memilih untuk terjun
kelaut dan berenang sampai tujuan?". Sang murobi mencoba memberi
opsi. "Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang.
Bebas dari bau kotoran manusia, merasa kesegaran air laut, atau
bebas bermain dengan ikan lumba-lumba . tapi itu hanya sesaat.
Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan?. Bagaimana bila
ikan hiu datang. Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam
datang, bagaimanan antum mengatasi hawa dingin?" serentetan
pertanyaan dihamparkan dihadapan sang mad'u. Tak ayal, sang mad'u
menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan
sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murobbi yang
dihormati justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan
keinginannya.
"Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan
yang paling utama menuju ridho Allah?
" Bagaimana bila ternyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh
jalan itu ternyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan
mobil itu tergeletak dijalan, atau mencoba memperbaikinya? . Tanya
sang murobbi lagi.
Sang mad'u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya. Tiba-
tiba ia mengangkat tangannya:"Cukup akhi, cukup. Ana sadar.. maafkan
Ana…. ana akan tetap Istiqomah. Ana berdakwah bukan untuk
mendapatkan medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana
diperhatikan… " .
Biarlah yang lain dengan urusan pribadinya masing-masing. Biarlah
ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya Allah saja yang akan
membahagiakan ana kelak dengan janji-janji- Nya. Biarlah segala
kepedihan yang ana rasakan menjadi pelebur dosa-dosa ana". Sang
mad'u berazzam dihadapan sang murobbi yang semakin dihormatinya.
Sang murobbi tersenyum "Akhi, jama'ah ini adalah jamaah manusia.
Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi
dibalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka
miliki . Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah
untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi
manusia terbaik pilihan Allah." "Bila ada satu dua kelemahan dan
kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum.
Sebagaimana Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik
mereka, hapuslah kesalahan mereka dimata antum dengan kebaikan-
kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah,
belum tentu antum lebih baik dari mereka."
"Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah
jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu
disikapi dengan jalan itu , maka kapankah dakwah ini dapat berjalan
dengan baik?" sambungnya panjang lebar. "Kita bukan sekedar pengamat
yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding
sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya.
Tapi kita adalah da'i. kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi
amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi.
Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin
memperuncing masalah.
"Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api.
Bara yang tadinya kecil.tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala
api yang yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!" "Bekerjalah
dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih
sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu.
Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada isyu
atau gosip tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan
segala ghil antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah,
Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya. "
Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraaan melebar
dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang
mad'u bergegas mengambil wudhu untuk berqiyamu lail. Malam itu. Sang
mad'u sibuk membangunkan mad'u yang lain dari asyik tidurnya.
Malam itu sang mad'u menyadari kesalahannya. Ia bertekad untuk tetap
berputar bersama jama'ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan
diperolehnya. Demikian yang kami harapkan dari antum sekalian…
… Semoga bermanfaat